Wednesday, 16 July 2014

"Tatanan Masa Depan Ekonomi Indonesia"

Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan baru ekonomi dunia di masa depan. Diperlukan upaya strategis dan berkelanjutan.

Bulan lalu, banyak sekali tamu asing berdatangan ke kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Chaerul Tanjung di bilangan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Mulai dari investor dari berbagai negara seperti Jepang, Amerika dan Eropa, hingga perwakilan International Chamber of Commerce, lembaga sejenis KADIN dengan skup operasi global.


“Mereka ingin menjajaki kemungkinan berinvestasi di Indonesia,” jelas Chaerul yang baru dilantik sebagai Menko Perekonomian pertengahan Mei lalu. “Namun sekaligus mereka menyampaikan berbagai hambatan investasi yang masih ada di negara kita,” ia menambahkan.

Indonesia akhir-akhir ini memang menjadi magnet investasi global. Ini tidak lepas dari proyeksi pertumbuhan yang diperkirakan akan dicapai Indonesia di masa depan.  Bank Dunia dan International Comparation Program (ICP) merilis Indonesia akan masuk 10 besar negara terkaya dilihat dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Menurut data Bank Dunia, jumlah PDB Indonesia mencapai 2,3 persen dari total PDB global. Cukup jauh dari PDB Amerika Serikat (AS) di urutan pertama sebesar 17,1 persen. Namun dengan potensi pertumbuhan dan besarnya sumberdaya yang dimiliki, sementara di lain pihak ekonomi AS dan negara maju lainnya cenderung stagnan, Indonesia diproyeksikan akan naik kelas seiring waktu.

Salah satu investment bank terbesar di AS, Goldman Sachs pernah merilis Indonesia akan masuk enam besar kekuatan ekonomi dunia pada 2050. Saat itu, PDB Indonesia diprediksi mencapai 26,68 triliun dolar Amerika, dan pendapatan per kapita penduduk mencapai 78.478 dolar alias Rp941.736.ooo dalam setahun. Angka ini jauh di atas posisi saat ini, dengan PDB 878 miliar dolar dan pendapatan perkapita 4.000 dolar.

Masuk akalkah? Ketika itu Goldman Sachs beralasan, pertumbuhan PDB Indonesia dalam rentang waktu 1970-2010 mencapai 7.217 persen. Di masa-masa awal Orde Baru itu, PDB Indonesia hanya di angka 9,66 miliar dolar dengan pendapatan per kapita 81,59 dolar. Faktanya, 40 tahun kemudian, PDB Indonesia melejit menjadi 706,56 miliar dolar dengan pendapatan per kapita hampir 3.000 dolar. Dengan potensi sumberdaya yang ada, Goldman meyakini pertumbuhan sebesar itu akan kembali tercapai dalam rentang waktu 40 tahun ke depan.

Pertumbuhan ekonomi secara sederhana dapat dirumuskan sebagai akumulasi dari produksi, konsumsi, investasi, plus ekspor dikurangi impor. Mudah dibayangkan, dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia, peningkatan kapasitas dari semua elemen itu disepakati sebagai sebuah keniscayaan.

Produksi dan konsumsi diyakini akan terus tumbuh seiring dengan peningkatan basis produksi, perkembangan teknolgi, dan naiknya jumlah penduduk. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan kapasitas ekspor Indonesia, baik kuantitas, maupun kualitas.

Dari sisi investasi, peluang naiknya kapasitas itu tidak kalah besar. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, merilis hasil survei yang berjudul World Investment Report 2014. Hasilnya, secara global negara-negara Asia menduduki peringkat pertama sebagai tujuan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
, Djisman Simanjuntak mengatakan, kekuatan utama Asia adalah pada jumlah penduduk produktif terbanyak di antara kawasan lain. Asia dinilai memiliki daya tarik tertinggi di antara benua lain sebagai tujuan investasi.

Negara-negara seperti India, China, Indonesia, akan terus menjadi tujuan FDI karena banyaknya penduduk berusia produktif. Negara-negara maju menghadapi masalah aging, dimana penduduk mereka yang produktif makin sedikit,” jelas Djisman. Pertumbuhan ekonomi Asia yang melambat beberapa tahun ke belakang, ternyata tidak menyurutkan minat investor.

Ini karena dibandingkan dengan regional lainnya, tingkat pertumbuhan negara-negara Asia secara umum akan tetap lebih tinggi, ujarnya. Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara, dipastikan akan menikmati bagian signifikan dari aliran dana investasi itu.

Ekonom Independent Research Advisory Indonesia, Lin Che Wei juga menyoroti pentingnya FDI untuk me-leverage percepatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Apalagi  dengan diraihnya predikat investment grade, posisi dan daya tarik Indonesia di mata investor asing seharusnya semakin tinggi.

Meski begitu, Lin mengingatkan kebijakan di dalam negeri juga mesti diperbaiki. Misalnya perbaikan regulasi dan infrastruktur untuk industri pengolahan padat karya. Selain itu perlu ada pembukaan lahan pertanian baru agar kedaulatan pangan dapat tercapai. “Kita juga harus menjadikan BUMN sebagai lokomotif ujung tombang kebangkitan dan kedaulatan ekonomi.

Tantangan
Meski begitu, tidak mudah untuk mencapai itu. Masih banyak PR yang wajib diselesaikan.  Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, bisa saja Indonesia bakal menjadi negara maju pada tahun 2025 atau 2030 nanti, tapi catatannya harus dapat memanfaatkan demografi dan mengurangi ketimpangan.

Menurutnya, ketimpangan yang ada terlihat dari rasio GINI yang terus membesar. “Karena kekayaaan kita yang tumbuh tinggi itu cuma dari kekayaan alam, dan itu pun dimiliki hanya oleh beberapa orang saja,” ujarnya belum lama ini.

Untuk itu, dia mewanti-mewanti pemerintah agar jumlah rakyat yang banyak ini jangan sampai menjadi malapetaka . “Kalau tidak bisa dimanfaatkan, jumlah penduduk yang besar itu bisa menjadi liabilities, bukan aset,” paparnya. Dengan kondisi demikan, mau tak mau pemerintah harus bekerja keras. “Hindari kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Kalau tidak, ini berpotensi menjadi masalah sosial yang besar,” ingat Sofjan.

Anggota DPR RI, Sadar Subagyo menyadari besarnya tekanan defisit anggaran di APBN. Menurutnya, kontribusi yang paling besar dari defisit perdagangan sejauh ini adalah impor BBM. Ini memang dilematis,” akunya. Ia sepakat jika impor BBM memang harus dikurangi. Tapi, cara mengatasinya bukan mengurangi subsidi BBM itu sendiri, namun justru mengalihkannya ke subsidi transportasi umum, misalnya subsidi suku cadang dan bea masuk. Sehingga kalau harga BBM naik, tidak akan memicu inflasi,” jelasnya.

Menyeimbangkan neraca ekspor-impor bisa dilakukan secara bertahap dan realistis. Ini tidak mudah sehingga harus ada kebijakan yang kuat dari pemerintah. Usahakan impor itu untuk barang-barang manufaktur,” ia menambahkan. Infrastruktur dan regulasi dikembangkan untuk mempermudah dan menggenjot impor.

Ancaman utang juga dinilai berpotensi membahayakan perekonomian negara ini. “Kondisi utang sudah mengkhawatirkan karena sejak dulu sudah terjadi “gali lobang tutup lobang”. Pemerintah mencari utang baru untuk membayar utang lama,” paparnya. Untuk itu postur APBN harus diubah untuk menghindari defisit anggaran. Pemerintah juga harus terus menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak.

Bonus dan Ancaman Demografi
Setiap tahun, terjadi penambahan 5 juta penduduk baru di Indonesia. Ini potensi yang besar dan harus dikelola dengan baik dan peluang bisnis yang semakin besar. “Ancaman terbesar dari demografi ini adalah potensi pengangguran dan kemiskinan baru,” ungkap Sadar. Sehingga ketika kita tidak bisa meningkatkan produktivitas dari keunggulan demografi itu, kita justru akan dijajah oleh produk asing. Apalagi ada ASEAN Economy Community, semua bea masuk akan digratiskan,” tambanya.

Ia sepakat jika kualitas SDM bisa menjadi solusi. Dengan begitu akan muncul bisnis dan lapangan kerja baru bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. “Untuk mengantisipasi ancaman demografi, kita harus menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Misalnya dengan menciptakan 2 juta hektar lahan pertanian dan energi per tahun,” katanya.

Terkait dengan pengembangan lahan pertanian, Sadar beralasan, selama ini sektor pertanian menyerap 40 persen tenaga kerja, namun hanya 5 persen yang menyerap kredit. Sementara sektor jasa yang telah menyerap 45 persen kredit hanya menyerap 1,7 persen tenaga kerja.

Solusi lainnya adalah melakukan pemerataan pembangunan tak hanya di kota tapi juga di desa. Karena faktanya selama ini, sebanyak 60 persen uang beredar di Jakarta, 30 persen berputar di 32 kota provinsi, dan hanya 10 persen yang beredar di kawasan pedesaan. “Ini sungguh tidak adil. Karena pedesaanlah yang selama ini menopang kehidupan perkotaan,” pungkasnya. “Itu baru sebagian syarat agar negara ini bisa tumbuh menjadi salah satu perekonomian kuat di dunia.”

Ekonom senior, Iman Sugema menyambut baik visi ekonomi Indonesia untuk menjadi negara kuat secara ekonomi. ”Target jangka panjang otomatis akan tercapai setelah kita berhasil membangun perekonomian di dalam negeri jangka pendek. Namun itu harusnya bukan target utama, karena target akhir yang seharusnya adalah kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.

Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof. Didik J. Rachbini mengingatkan meskipun investasi asing perlu digenjot untuk menopang pertumbuhan ekonomi, namun Indonesia jangan sampai mengalami ketergantungan.”Ketergantungan pada investasi asing bisa menjadi bumerang jika tak diimbangi strategi yang tepat,” ingatnya.

Selain itu, ada permasalahan klasik Indonesia yang tidak kunjung selesai dan berpotensi menghambat laju ekonomi Indonesia guna mencapai target-target di atas. Peningkatan kapasitas ekonomi Indonesia hanya bisa terjadi jika faktor penunjang di atas berjalan optimal, sementara faktor penghambat dapat diminimalkan.

Sekretaris KEN, Aviliani mengatakan, faktor penghambat laju ekonomi Indonesia antara lain lemahnya penegakan hukum, minimnya infrastruktur, hambatan regulasi, huru-huru politik, faktor eksternal, dan lain-lain. “Semua itu harus diatasi jika ingin mencapai target di atas,” katanya. “Yang tak kalah penting adalah penerapan good governance di berbagai bidang, pemberantasan korupsi, dan peningkatan kapasitas SDM Indonesia,” ia menambahkan.

Menurutnya, ketika menargetkan menjadi negara dengan salah satu ekonomi terkuat di masa depan, Indonesia harus meminimalkan dampak krisis ekonomi yang rutin melanda perekonomian dunia. “Krisis ekonomi akan berujung pada penurunan size perekonomian suatu negara secara signifikan,” ia menjelaskan.


Krisis Global dan Kegagalan Sistem Keuangan

Penyebab utama krisis keuangan dunia akhir-akhir ini disinyalir berasal dari gagalnya sistem keuangan dunia menopang roda pertumbuhan ekonomi. Karena itu beberapa lembaga dunia yang concern akan perbaikan ekonomi global, mengingatkan perlunya perbaikan sistem keuangan dunia secara berkelanjutan.

G-20 dan Financial Stability Board (FSB) serta standard setter global seperti International Organization of Securities Commission (IOSCO) terus mengampanyekan reformasi regulasi keuangan global untuk memastikan sistem keuangan yang lebih aman dan berkelanjutan. Sekjen IOSCO, David Wright, dalam sebuah tulisannya menyatakan, selama krisis keuangan yang melanda sebagian besar negara Eropa dalam tujuh tahun terakhir, terdapat korelasi yang menakutkan antara kegagalan perusahaan berskala besar dengan CEO yang overpower, dewan yang tidak kompeten, komite audit dan komite risiko yang lemah, serta manajemen risiko yang tidak berguna. Krisis itu telah memicu penurunan  PDB global hingga 15 persen dibanding tren yang seharusnya.

Menurut David, ketika dunia mulai bergeser ke pembiayaan berbasis pasar, pengungkapan yang efektif dan keterbukaan menjadi semakin penting. Di masa depan, pelaporan terintegrasi mungkin memainkan peran yang lebih besar di tengah banyaknya pasar keuangan yang belum sesuai prinsip good governance. “Inilah saatnya akuntan profesional memainkan peran mereka untuk memastikan semua itu dikelola dengan transparan dan akuntabel,” pungkas David.

Sementara itu, Fayezul Choudhury, CEO International Federation of Accountants (IFAC) menyebutkan, meskipun akhir-akhir ini ada tanda-tanda positif krisis utang mulai mereda, semua pihak harus belajar dari buruknya pelaporan pemerintah (dan sektor privat) di masa lalu. “Dalam beberapa kasus bahkan cenderung menyesatkan,” katanya.

Menurut Choudhury, IFAC sebagai lembaga profesi akuntan profesional dunia, selalu mendorong peningkatan penerapan good governance di berbagai lembaga, baik privat maupun pemerintahan. Di tataran nasional, tugas itu mesti dijalankan oleh asosiasi profesi yang memiliki kompetensi untuk itu.

“Kami percaya bahwa G-20 memiliki peran penting untuk memastikan momentum itu dipertahankan. Harus disadari upaya meningkatkan pengelolaan dan pelaporan keuangan pada akhirnya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hanya dengan ini kita berpeluang menghindari krisis yang sama di masa depan,” ia menambahkan. IFAC menganjurkan di tahun-tahun mendatang, G-20, khususnya para menteri keuangan dan gubernur bank sentral, terus fokus pada hal penting tersebut.


Pendidikan sebagai Solusi

ICAEW (The Institute of Chartered Accountants in England and Wales) dalam sebuah risetnya baru-baru ini menyebutkan, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin berkualitas, investasi di bidang pendidikan dan keterampilan merupakan faktor kunci. Regional Director ICAEW untuk Asia Tenggara, Mark Billington mengatakan, investasi pemerintah di bidang pendidikan dan keterampilan serta investasi sektor swasta berskala besar di bidang produksi, dapat mendorong transisi Indonesia menuju ekonomi berbasis manufaktur bernilai tambah.

“Jadi ketika fondasi tersedianya tenaga kerja berpendidikan tinggi tercapai, maka perkembangan sektor bernilai tinggi tersebut akan bergantung pada masuknya investasi asing,” ujar Billington. “Karena itu, Indonesia perlu meningkatkan investasi di bidang pendidikan tingkat lanjut guna mengembangkan keahlian sumber daya manusianya,” dia menambahkan.

Elwin Tobing, profesor di Azusa Pacific University, California, AS mengatakan, perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi.  Para ahli umumnya sepakat modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi,  dalam memacu pertumbuhan ekonomi.  Tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah kualitas.

Profesor lulusan University of Iowa itu mengatakan, ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya.  Di antara berbagai aspek tersebut, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia.

“Dalam kaitannya dengan perekonomian nasional, semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut,” jelas Elwin. Karena modal manusia memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.

Elwin menjelaskan, pendidikan, termasuk di dalamnya aspek penelitian dan pengembangan harus menjadi salah satu agenda utama apabila Indonesia berkeinginan hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah jauh lebih maju.  Dengan keterbatasan modal kapital dan manusia, tugas pengembangan penelitian ini tidak mungkin hanya diusahakan pemerintah, tapi juga oleh stakeholders lain.

Dalam konteks pengembangan kapasitas keuangan Indonesia, organisasi profesi seperti Ikatan Akuntan Indonesia harus mengambil peran dalam mengembangkan kapasitas SDM di sektor keuangan, terutama para akuntan profesional. Para akuntan profesional inilah yang akan menjadi fondasi paling awal untuk menghitung kekayaan Indonesia yang akan menjadi basis untuk pertumbuhan di masa depan.

Keberadaan profesi akuntan yang kuat akan membantu terciptanya sebuah perekonomian yang efektif, efisien dan transparan. Kondisi inilah yang akan menjamin Indonesia tetap berada di track yang benar dalam mencapai tatanan masa depan ekonominya. Dan ketika pada suatu saat Indonesia memang menjadi salah satu negara dengan perekonomian terkuat di dunia, akuntan harus memastikan kekayaan itu terdistribusi dengan baik, karena pada akhirnya tujuan negara ini adalah untuk menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya. *DED/TOM

(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Juli-Agustus 2014, rubrik Laporan Utama)

IAI, Salam Profesionalisme Akuntan.

No comments:

Post a Comment