Oleh: Ito Warsito MBA., Ak., CA (Anggota Dewan Pengurus Nasional IAI)
Akhir-akhir ini semakin banyak lembaga riset dan pengamat, baik lokal maupun asing, lembaga donor, LSM, pengamat, dan
institusi yang memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi baru
di kemudian hari. Forbes bahkan berani mengungkapkan, perekonomian
Indonesia akan masuk lima besar dunia di tahun 2030.

Bulan Mei lalu, World Bank menempatkan perekomian Indonesia di urutan 10 besar dunia berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan purchasing power parity (tingkat daya beli). Indonesia masuk dalam jajaran kelompok elit berturut-turut setelah Amerika Serikat, China, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis, dan Inggris.
Berdasarkan data World Bank dan IMF, PDB Indonesia tahun 2013 mencapai 878 miliar dolar atau setara dengan Rp10.536 triliun dengan asumsi Rp12.000 per 1 dolar Amerika. Sementara pendapatan perkapita 2013 sebesar 3499 dolar, turun dari 3592 tahun sebelumnya. Namun di tahun 2014 pendapatan perkapita diprediksi meningkat lagi mencapai 4000 dolar. Itu berarti penghasilan rata-rata penduduk Indonesia mencapai Rp48 juta pertahun, sebuah angka yang cukup untuk menopang standar hidup kelas menengah Indonesia.
Melihat besarnya sumberdaya yang dimiliki Indonesia, sepertinya naiknya peringkat Indonesia di percaturan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan. Namun peningkatan kapasitas secara luarbiasa itu tentunya tidak naik dengan sendirinya. Dibutuhkan peningkatan kapasitas hardware, software, dan brainware untuk membawa Indonesia mampu mencapai itu.
Meskipun formula pertumbuhan ekonomi bisa dihitung melalui pertumbuhan produksi, konsumsi, investasi, serta selisih ekspor dan impor, namun ada aspek-aspek lain yang akan sangat berpengaruh dalam proses pengembangan kapasitas ekonomi Indonesia itu.
Ibarat sebuah pipa, Indonesia akan menjadi pipa ekonomi yang makin membesar seiring berjalannya waktu. Agar optimal, pipa itu harus bersih dari potensi gangguan dan kebocoran yang mungkin timbul di sepanjang pipa. Dalam konteks ekonomi, gangguan dan kebocoran itu bisa berupa praktik korupsi, hambatan regulasi, lemahnya penegakan hukum, huru hara politik, faktor eksternal, dan lain sebagainya.
Dan yang tidak kalah penting, ketika pertumbuhan itu terjadi, rakyat haruslah menjadi yang pertama yang akan menikmatinya. Artinya, selain memastikan prediksi pertumbuhan ekonomi itu menjadi kenyataan, tugas berat lainnya adalah memastikan pertumbuhan itu mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Akuntan sekali lagi akan menjadi fondasi awal bagi negara ini untuk menghitung kekayaan negara yang pada akhirnya akan didistribusikan kepada seluruh masyarakatnya. Dengan karakteristiknya sebagai pengawal transparansi, akuntan bisa berperan mengawal pipa-pipa ekonomi Indonesia itu tidak bocor dan tidak karatan di sana-sini.
Apa artinya? Mau tidak mau, profesi akuntan harus memikul tanggungjawab besar ini untuk maju di barisan paling depan untuk membawa ekonomi bangsa ini menjadi yang terdepan. Seiring dengan penguatan profesi akuntan itu, kami menerima sebuah kabar gembira dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan (KMK)263/KMK.01/2014 tentang Penetapan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai Asosiasi Profesi Akuntan yang diakui Pemerintah. KMK ini akan membuat posisi IAI semakin kuat dalam rangka menjalankan amanat PMK25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara. Jayalah akuntan profesional Indonesia.
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Juli – Agustus 2014, rubrik Perspektif)
IAI, Salam Profesionalisme Akuntan.
No comments:
Post a Comment